Bertindak Berdasar Emosi, Hasilnya ?

By Riffat Akhsan - May 11, 2015



eh, tunggu tunggu. jangan buru buru klik tanda silang aja dong. saya cuma mau cerita kok.

jadi gini...



cerita ini sebenarnya lucu, tapi menurut saya ironis. ini terjadi di kantor partner saya, sebuah group dengan beberapa perusahaan yang cukup diacungi jempol dalam bidangnya. nah, kantor ini kedatangan karyawan baru perempuan, cantik, berkelas dan luar biasa cerdas. oleh perusahaan mbak ini ditempatkan sebagai asisten direktur utama. kebetulan, si direktur utama baru berusia akhir 20 an tahun dan masih belum berpikir untuk menikah.

waktu berlalu, suasana kantor adem ayem aja damai sentosa. tiba tiba mbak asisten direktur ini diteror oleh seorang perempuan yang (ngakunya) pacar direktur utama. si mbak dituduh jadi perusak hubungan antara dia dan direktur utama. sama si mbak nggak digubris, eh si cewek marah aja dong dan melancarkan serangan dan hinaan secara bertubi-tubi. si mbak dicaci maki, dikata katain seenak jidat si cewek. dan tetep nggak digubris sama mbak asisten direktur.

selama sekitar satu tahunan si cewek meneror mbak asisten direktur. mbak asisten direktur akhirnya ngomong ke direktur utama, direktur utama diem aja. dibilang cuekin aja, sapa tau itu orang yang ngaku - ngaku. mbak asisten direktur nggak mau cari ribut meskipun si mbak nyimpen semua bukti perbuatan dari si cewek plus identitasnya. waktu itu mereka lagi ribet - ribetnya sama kerjaan dan deadline proyek udah dekat banget. tapi si mbak asisten direktur tetep diganggu aja dong.

trus mbak asisten direktur nggak tahan, semua bukti + identitas cewek pacar direktur utama itu dilaporin ke presiden direktur yang tidak lain dan tidak bukan adalah ayah dari mbak asisten direktur.

presiden direktur bersikap bijak banget, anaknya didiemin. sambil disuruh sabar. trus satu bulan kemudian direktur utama dipanggil, diajak ngopi dan ngomong hal hal ringan, trus ditengah tengah ngobrol semua bukti dari mbak asisten direktur ditunjukin. beliau (presiden direktur) cuma tanya "kamu bisa jelaskan ini apa ? saya takut salah paham"

direktur utama diem, malu berat. itu semua memang valid identitas + perbuatan pacarnya. si direktur utama nggak tau harus ngomong apa sama presiden direktur.

kelar ngopi sama presiden direktur, direktur utama ngechat si pacar.

begini isi chatnya : (saya diminta oleh sumber untuk tidak menyertakan screen shoot chatingan nya)

Direktur utama (D) pacar direktur utama (P)

D : eh kamu kenal mbak ____ ?

P : iya, dia asisten kamu kan ?

D : kamu kenal sama dia ?

P : ya enggak sih, cuma dia aku peringatkan jangan jadi perusak hubungan orang

D : maksud kamu ?

P : iya aku cemburu sayang, dia bisa kerja bareng terus sama kamu. trus aku curiga jangan jangan dia filrt ke kamu trus kamu ninggalin aku. yaudah deh sering aku peringatkan untuk jangan macem macem sama pacar aku. eh kenapa sih dia bisa jadi asisten kamu ? pecat aja kenapa sih yang ? kamu kan direktur utama, dia kan bawahan kamu. atau pindahin kek ke divisi lain. cari asisten yang cowok juga nggak masalah kan yang...

D : kamu tau mbak ___ itu siapa ?

P : yaampun yang, dia kan bawahan kamu. cuma anak baru lulus kuliah yang kebetulan kerja di perusahaan kamu. ngapain sih ngomongin dia. nggak penting banget.

D : dia itu anak presiden direktur aku, dan tadi siang presdir konfirmasi ke aku apa bener itu perbuatan kamu....

yak silahkan imajinasikan lanjutan chat diatas.

satu hal yang bisa saya ambil pelajaran dari cerita partner saya ini adalah. kita sebenarnya nggak pernah benar benar tau dengan siapa kita berhadapan. semua orang pasti punya sisi yang dia sembunyikan dari kita karena suatu alasan. saya jujur kasihan sekali dengan mbak pacar direktur utama ini. seandainya saja kecemburuan tak mendasar dan kecurigaan tak beralasan ini cukup sampai di dia saja, tidak diaplikasikan dalam tindakan mungkin ceritanya akan jauh berbeda....

ketika kita emosi, semua terasa benar. semua terasa sah, sehingga (kelihatannya) tidak ada impact nya ketika kita tidak memakai logika. namun apa jadinya kalau tindakan berdasar emosi tersebut benar benar menyebabkan kesalahan fatal. saya nggak tau bagaimana malunya si direktur utama ke presiden direktur juga ke mbak asisten direktur. presiden direktur dan mbak asisten direktur menganggap ini nggak ada masalah dan memaafkan kejadian tak diinginkan ini. namun lain halnya dengan si direktur utama, ini perkara harga diri. dia secara tidak langsung mempertaruhkan kredibilitasnya dalam keputusan keputusan penting perusahaan kedepan yang melibatkan presiden direktur.

dari cerita ini saya cuma mau bilang...




bijaklah sebelum mengambil keputusan yah :)))




Surabaya, 11 Mei 2015





Rifa Akhsan

  • Share:

You Might Also Like

0 comments

pembaca yang baik, terima kasih telah berkunjung ke sini. silahkan meninggalkan kritik, saran, pesan, kesan, dan apresiasi untuk saya menulis lebih baik lagi. terima kasih pula untuk tidak nge-Spam di Blog Saya :)