Suburnya Hoax dan Keresahan Minat Baca Indonesia

By Riffat Akhsan - June 08, 2017


sumber gambar : parentspartner dot com

tumben tumbenan saya nulis (agak) serius, tapi nggak papa lah ya. hidup juga butuh serius. begitu juga ngeblog.

kemarin sore saya barusan left grup whatsapp keluarga besar karena sudah tidak tahan lagi dengan kegoblokan kolektif berupa penyebaran hoax dan tidak adanya filter konten di ruang publik.

saya kemudian ingat oktober tahun lalu, UNESCO merilis tingkat membaca buku penduduk Indonesia terburuk nomor 2 di dunia setelah negara negara Afrika. iya, negara negara miskin di Afrika sono, dan runner up in the world nya  adalah negeri indah gemah ripah loh jinawi dengan proyeksi kekuatan ekonomi terkuat ketiga di dunia plus bonus demografi dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun kedepan.

yassalam.

masyarakat Indonesia itu cenderung visual, influence lebih terbaca dan moncer melalui konten konten gambar dan suara. nggak heranlah instagram jadi hits di negeri ini  padahal merupakan sosial media penyumbang penyakit mental tertinggi di dunia. sinetron dengan cerita naga naga dan hedonisme sampah menjadi idola remaja tanggung. akademi dangdut serta serial India 24 jam menjadi teman sejati ibu ibu sampai nenek nenek. sementara abege tegas alias eksekutif muda lebih memilih konten visual dari stasiun TV internasional dan video Youtube yang langganannya satu paket dengan layanan internet. saya juga suka kok sama konten kek gituan, buktinya sampe bikin list vlogger favorit saya.

namun, fenomena WAG keluarga besar saya mungkin menjadi cerminan realitas literasi digital masyarakat Indonesia, bahwa fanatisme buta dan kegoblokan kolektif tumbuh subur dan terus dipupuk di negeri ini. ya wajar aja sih, tradisi membaca yang buruk dan budaya intelektualitas yang rapuh membuat orang gampang percaya apa yang mampir ke "beranda" nya. ditelan aja gitu informasinya tanpa tau itu apaan. bukan hal aneh kalau (mungkin saja) tanpa sadar mereka menjadi "alat" dari propaganda yang mungkin sudah diatur oleh pihak tertentu.

saya mungkin bukan kutu buku idealis yang mampu membaca buku berkualitas sampai minimal 60 buku per tahun. buku buku saya hanya berputar di textbook kuliah, jurnal nasional dan internasional,  lebih banyak novel dan majalah gaya hidup .

saya juga bukan pengunjung perpustakaan teladan, karena lebih suka numpang wifi di perpustakaan  dan lebih bahagia ngafe aja di cafe bernuansa perpustakaan. numpang foto di world book day,  yang secara tidak sengaja saya bertemu dengan Matsui - San, seorang warga negara Jepang.

saya masih ingat pesan Matsui San

"Rifa-San, jangan pernah mengeneralisasi satu hal kalau kamu baru berpikir satu kali"

inilah kesedihan saya, buruknya minat baca buku memicu generalisasi berpikir. padahal baru berpikir satu kali. ya kita ngomong fakta aja sih, saya dan kamu yang baca postingan ini pasti pernah menebak isi berita hanya dari judulnya saja kan ? padahal saya dan kamu tau judul seringkali nggak nyambung sama isinya.

nah itulah yang membuat dalam skala yang lebih masif fenomena penyebaran hoax di WAG bertransformasi menjadi sebuah informasi acuan yang terpercaya bagi mereka anggota WAG. padahal saya haqqul yakin yang menyebarkan hoax tersebut sudah cuci tangan dengan menulis "cuma ngopi dari grup sebelah".


hadeh. 

ada hal yang lebih jauh dari lingkaran setan buruknya minat baca - penyebaran hoax - cuci tangan di WAG ini (WAG manapun, nggak hanya WAG keluarga).  yaitu minimnya rasa bahasa yang berimpact pada tidak adanya empati yang melatarbelakangi filter dalam penyampaikan konten di ruang publik. bahasa kerennya think thousand before posting.

lah boro boro mikir sebelum posting, orang nyebarin info yang masih nggak jelas kredibiltasnya aja mereka ringan ringan aja kok.

walau bagaimanapun, WAG adalah ruang publik. ruang dimana ada lebih dari dua orang selain kamu. image diri, netiket (etika berinternet) juga harus dijaga dong. ingat, apapun postingan kamu di WAG adalah citra diri kamu juga, itu merepresentasikan nilai diri kamu. even maksud kamu hanya bercanda. kamu nggak bisa nyetir pandangan orang ke kamu. tapi kamu bisa nyetir omongan kamu di WAG biar pandangan anggota grup WAG nggak negatif ke kamu. bukan maksudnya suudzon juga, tapi YA PLIS DONG AH KITA KAN KAGAK TAU PIKIRAN ORANG LAIN ATAS KITA.

kalau kata ayah saya tuh gini 

postingan kita di sosial media tuh ibarat kita teriak di lapangan terbuka, meskipun mungkin nggak ada yang dengerin tapi kita nggak bisa benar benar memastikan apakah memang kita nggak ada yang dengerin. karena silent reader itu jumlahnya banyak sekali. apalagi stalker.
lebih jauh lagi, penyebaran informasi palsu yang merugikan seseorang/instansi/pihak tertentu dalam media digital dapat dijerat pasal berlapis berupa UU ITE, pencemaran nama baik, dan perbuatan tidak menyenangkan.

jadi, jangan sampai ya konsekuensi hukum dalam postingan WAG kamu tidak bisa diselesaikan hanya dengan bilang "cuma ngopi dari grup sebelah".

kalau WA grup gosip mah beda lagi, tapi biasanya grup gosip pakenya telegram ya bukan whatsapp, sorry.....






Samarinda, 8 Juni 2017




Riffat Akhsan

  • Share:

You Might Also Like

0 comments

pembaca yang baik, terima kasih telah berkunjung ke sini. silahkan meninggalkan kritik, saran, pesan, kesan, dan apresiasi untuk saya menulis lebih baik lagi. terima kasih pula untuk tidak nge-Spam di Blog Saya :)