Cadar Air Mata Teman Saya
gambar diambil via pixabay
saya nggak mau bilang apa-apa melihat kenyataan blog saya yang berdebu ini.
saya emang udah nggak ngoyo lagi mau nulis, kalau saya mau ya saya nulis. kalau nggak ya nggak papa.
oke, jadi saya mau cerita soal teman saya.
yang bercadar.
eh, jangan pergi dulu. disini saya nggak mau nyinyir sama rombongan 212 beserta almuninya seperti kebanyakan kelas menengah ngehek. atau mau ngejelekin pandangan agama seseorang seperti mereka yang tidak memahami agamanya sendiri itu.
disini saya mau cerita tentang hubungan interpersonal antar manusia.
jadi di kampus saya yang sekarang, saya punya teman yang pake cadar. sebut saja namanya Bunga. nah Bunga ini satu satunya manusia bercadar di jurusan saya. dia nggak punya teman, nggak juga haus membuktikan bahwa dia bisa tanpa teman.
dia, hanya nggak terduga.
jadi di suatu maghrib dia ribut hubungin saudara kembar saya, yang dengan kokoh tak tertandingi mendeklarasikan untuk mengerjakan tugas besar lapangan terbangnya SENDIRIAN. disaat yang lain mengerjakan tugas besar ini dengan anggota kelompok minimal sepuluh orang.
Bunga maksa mau jadi anggota kelompoknya Fatimah, si Fatimah kan sensi ya dimohon-mohonin kayak gitu. jadilah si Bunga ini sering kena marah Fatimah karena dia nggak mau direpotin sama ribetnya kelompokan. tapi Bunga nggak nyerah, dia kejar Fatimah sampe kayak apaan. sampai akhirnya Fatimah mau kelompokan sama dia.
singkat cerita, Bunga emang komitmen untuk jadi anggota kelompok Fatimah, dia selalu datang tepat waktu ke kosan kita dan mengerjakan semua yang Fatimah suruh. like a boss banget lah sodara kembar saya ini. mana dia kalau ngomong ke Bunga itu selalu ketus lagi. huh.
tapi Bunga nggak pernah marah sama Fatimah, dia bilang ke saya meskipun Fatimah orangnya nyelekit, tapi dia tau Fatimah hatinya baik.
karena besarnya tugas perencanan lapangan terbang ini, maka frekuensi Bunga ke kosan kita tinggi. ya jadilah saya banyak ngedengerin cerita Bunga.
termasuk alasan dia untuk bercadar.
Bunga ini bukan tipikal perempuan perempuan bercadar yang biasa saya temui. dia nggak pernah sekalipun ngeluarin ayat atau hadist ke saya. dia juga tidak menghakimi pilihan saya yang memakai jilbab sebatas leher dengan celana jeans dan blouse sifon berlengan 3/4. di saat yang sama ia juga tidak berusaha meninggikan dirinya yang bercadar dan berpakaian serba kelebihan kain seakan ia lebih baik dari saya.
dia cerita keputusan bercadar ini juga masih dalam keadaan bingung. karena maksud hati nurut ayahnya, namun ibunya sampai hari ini kekeuh nggak ridho ia bercadar.
Bunga jujur cerita ke saya kalau orangtuanya berbeda prinsip dalam pandangan agama.
****
saya jadi inget omongan sinis teman waktu saya pacaran sama kokoh.
"Riffat, kamu tuh ya pacaran beda agama. sama tionghoa pula. di Indonesia ini, jangankan pacaran sama tionghoa katolik. sama sama muslimnya pacaran aja yang cowok muhammadiyah yang cewek NU mereka bisa nggak jadi nikah kok !"
jleb jleb jleb.
dan ini terjadi di orangtua teman saya Bunga. orangtua Bunga bercerai karena pandangan agama.
Bunga terpaksa menjadi tulang punggung di usia awal dua puluhan. iya, kerjaan dia bagus di kementerian urusan proyek konstruksi tingkat provinsi yang ngasih dia gaji cukup dan previlage perjalanan dinas kemana mana.
pekerjaan dengan mobilitas tinggi ini nggak sebanding sama beban fisik dan psikisnya. suatu hari Bunga mengalami kecelakaan motor sehingga mulai saat itu Bunga jadi harus nunggu dijemput dan diantar kemana mana sama ibunya.
makin pelik lah hidup teman saya ini.
ia memilih untuk bersama ibunya, dengan seorang adik yang bekerja sebagai kurir dan bingung bagaimana harus membayar kuliah semester depan. Bunga bertanggungjawab untuk membayar kuliahnya sendiri dan seorang adiknya. serta menanggung finansial seluruh urusan dapur dan rumah tangga.
sebenarnya ia tidak harus menanggung ini. namun ia dengan sadar mengambil keputusan ini. memilih hidup bersama ibunya yang menjanda, namun tetap menjaga hubungan harmonis dengan ayahnya dan keluarga baru ayahnya.
saya bukan tipikal orang yang segitunya mau tau urusan keluarga sampe yang kayak gini. tapi keterbukaan Bunga bikin pikiran dan pandangan saya terbuka.
awalnya juga saya biasa aja dengan kehadiran Bunga. keberanian dia menemui dekan untuk meminta izin belajar dengan memakai cadar, dan dengan patuh ia turuti arahan dekan untuk tidak menyebarkan paham apapun itu yang menyangkut cadar serta bersedia membuka cadar di kelas jika dosen yang bersangkutan mengharuskan untuk beliau (dosen) melihat wajah setiap mahasiswa yang beliau ajar.
keberanian dia cukup mengesankan, tapi saya masih biasa aja karena saya pikir itu sudah risiko dia.
sampai akhirnya pada suatu hari saya mengalami emergency dan Bunga adalah orang pertama yang menolong saya tanpa berpikir. begitu dia tau saya ada emergency, dia langsung tolong saya.
disana saya angkat topi buat dia.
****
pertemanan saya dengan Bunga membuat saya banyak berpikir. banyak merenung, dan banyak menyesal.
saya banyak berpikir tentang konsep menikah untuk kesempurnaan. karena faktanya orangtua Bunga menikah karena perjodohan, pastinya lah semua terlihat sempurna. kesempurnaan itupun akhirnya berakhir dengan jalan yang dibenci tuhan, menghancurkan psikis anggota keluarga, dan menghancurkan konstruksi finansial keluarga.
dari Bunga saya jadi sadar bahwa "menikah" adalah buah dari konsep hubungan dewasa. bukannya cinta sesaat, apalagi cinta monyet jaman SMA. keputusan menikah harus hadir setelah kontemplasi dengan diri sendiri. tanpa intervensi siapapun.
bahwa konsep "seiman" bukan hanya tentang satu agama. tapi juga satu pandangan ketuhanan, baik secara tauhid, syariat dan hakikat.
menikah juga tentang kristalisasi dari perpaduan ketertarikan fisik, kenyamanan pribadi, dan kemampuan negosiasi.
karena sebelum memutuskan menikah kita harus punya kriteria, kemauan, dan kemampuan untuk mewujudkan itu.
intinya, menikah itu nggak mudah. nggak semudah dengerin lagu Akad nya Payung Teduh atau dengerin Badai Romantic Project yang judulnya "melamarmu".
saya juga banyak merenung. kita hidup tuh maunya yang seperti apa ?
semua pilihan dalam hidup hadir dengan keuntungan dan risiko yang seimbang. karenanya kita bersandar pada "kecenderungan".
saya jadi mengerti apa kata ustad saya jaman mondok di Darul Ulum dulu ; hidup itu harus punya impian. biar nggak jadi layang - layang yang cuma ikutan angin.
di jaman sekarang susah membedakan mana impian, mana nafsu untuk bisa sama dengan orang lain. nafsu untuk membuktikan diri bahwa "saya juga bisa" pada dunia. mungkin itulah kenapa kita harus rajin sholat dan berdoa. karena dari sana kita benar benar berada pada titik nol dan sangat objektif untuk benar benar mempertimbangkan sesuatu. dari sholat juga saya sadar bahwa itulah sarana kita menghubungkan masalah dengan tuhan.
terakhir, yang saya berperang untuk mengakuinya.
saya banyak menyesal.
bahwa saya gagal dalam menerapkan apa kata kakek Pram "adil sejak dalam pikiran".
sekali lagi, saya gagal untuk lebih sabar menunggu sebelum mengeneralisasi bahwa semua yang bercadar itu menyebalkan dan dangkal dalam memahami esensi sesuatu. manalah ngerti saya ini kalau ternyata paham menyebalkan dan dangkal itu lahir dari pendidikan agama dalam keluarga yang rapuh. itulah mungkin yang menyebabkan golongan sana begitu fanatik.
saya lupa mungkin diluar sana ada Bunga Bunga lain yang serupa. yang melewati banyak sekali obstacle dalam hidup. yang getir dengan pilihan pilihan sulit. yang didewasakan oleh kenyataan. terlepas dari cadar/jilbab/apapun yang ia kenakan.
saya sudah sentimen duluan dengan mereka yang bercadar, tanpa ingat bahwa mereka juga manusia yang punya alasan kuat di balik setiap keputusan. saya gagal untuk objektif dalam sisi humanisme golongan yang ini. yang saya lihat adalah mereka sekedar korban dari doktrin tertentu. mereka adalah robot yang diduplikasi atas nama agama. saya lupa, kalau mereka juga manusia. sama seperti saya.
bahwa selama ini saya lupa kalau setiap orang berhak untuk merdeka dalam berkeyakinan selama tidak melanggar hukum Agama dan Negara.
kita hidup dalam kodrat heterogenitas. dalam upaya dinamis masyarakatnya untuk memaksakannya menjadi homogenitas.
jadi, apakah berlebihan kalau saya bilang saya dan kita semua punya masalah "primitif berkemasan modern" ?
Samarinda, 13 Desember 2017
Riffat Akhsan, yang masih harus terus belajar lagi untuk mengenal dunia.
NB : Bunga bersedia ceritanya saya tulis di blog.
0 comments
pembaca yang baik, terima kasih telah berkunjung ke sini. silahkan meninggalkan kritik, saran, pesan, kesan, dan apresiasi untuk saya menulis lebih baik lagi. terima kasih pula untuk tidak nge-Spam di Blog Saya :)